Selain keindahan panorama alamnya, kawasan Dieng Plateau memiliki ancaman terjadinya degradasi lingkungan yang akan sangat meghawatirkan bagi kehidupan generasi mendatang. Isu tersebut nampak jelas di kawasan Dieng. Kawasan Dataran Tinggi Dieng (± 2.095 meter dpl) yang terletak di dua kabupaten yaitu Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah, menghadapi ancaman degradasi lingkungan parah. Kepadatan penduduk yang tinggi (rata-rata 100 jiwa/km²) dengan pemilikan lahan yaitu rata-rata sebesar 0,1 ha,  menyebabkan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam yang ada, berupa pengalihan fungsi lahan kawasan lindung menjadi lahan budidaya pertanian intensif).

Saat ini sekitar 7.758 hektare lebih lahan di Dieng (di kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara) sudah menjadi tanah kritis dengan tingkat erosi mencapai mencapai angka 10,7 mm/tahun atau rata-rata sebesar 161,ton/hektare/tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun. Erosi di DAS Serayu tersebut menyebabkan pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Mrica, Banjarnegara, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,106 m3 atau 40% dari kapasitas waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,106 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng.

Diduga, akar dari kompleksitas permasalahan degradasi lahan dan lingkungan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ini adalah :

  1. kecilnya kepemilikan lahan
  2. intensifikasi tanaman semusim (kentang) tanpa mengindahkan kaidah konservasi
  3. rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian publik terhadap kerusakan SDH, degradasi lahan dan lingkungan
  4. lemahnya koordinasi antar sektor dan dalam pembangunan wilayah

Beberapa studi, antara lain yang dilakukan oleh Java Learning Center bersama Tim Kerja Pemulihan Dieng tahun 207 dan studi Bramasto Nugroho (2008) juga menggarisbawahi akar permasalahan yang terjadi di Dieng dan potensi dampak yang ditimbulkan, antara lain :

  1. Tingkat pemanfaatan yang tidak diikuti dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan, menyebabkan terlampauinya daya dukung kawasan.
  2. Karakteristik hak kepemilikan pribadi (private property rights) yang otonom dalam pengambilan keputusan menyebabkan masyarakat memanfaatkan lahan milik tanpa memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkannya.
  3. Keputusan-keputusan yang dibuat umumnya didasarkan pada rasionalitas jangka pendek dan untuk kemanfaatan individu, sementara kemanfaatan jangka panjang dan perlindungan lingkungan untuk kemanfaatan sosial jarang dijadikan acuan.
  4. Potensi dampak negatif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang eksploitatif antara lain banjir, tanah longsor, sulitnya memperoleh air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan rusaknya kawasan wisata menjadi beban bagi orang lain.

Maka sejak tahun 2007 telah dilakukan inisiatif Program Pemulihan Dieng (PPD) oleh Pemkab Wonosobo. Program ini berkolaborasi dengan beberapa pihak, termasuk LSM,  pakar, serta lembaga donor. Aktifitas masih berjalan sampai sekarang dalam berbagai bentuk, yang bertujuan mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

Kejayaan kentang ditopang oleh kombinasi bahan-ban agrokimia, kredit dan pasar. Kombinasi ini ternyata tidak bisa bertahan lama, degradasi lingkungan berjalan jauh lebih cepat dibandingkan pada masa kejayaan tembakau. Setelah 3 (tiga) dekade, produksi kentang di Dieng mulai mengalami penurunan secara signifikan yang diakibatkan oleh terkurasnya hara tanaman dan pola cuaca yang tidak menentu.

Hal yang sudah tidak dapat dipungkiri adalah ancaman bencana yang hampir terjadi setiap tahun di beberapa desa yang masuk kawasan Dieng, banjir bandang pernah terjadi yang menewaskan 11 warga desa Tieng, longsor –longsor kecil diberbagai desa,angin puting beliung dan banjir didataran tinggi menjadi agenda rutin setiap harinya.